ASAL
USUL DESA AMBAL
Pada jaman Mataram semasa pemerintahan
Sinuhun Raja mempunyai selir bernama Mas Ajeng Tingkir, berputra bernama Raden
Mas Semedi, anak itu kemudin diserahkan kepada Mangundipura agar diasuhnya
baik-baik. Setelah dewasa Raden Mas Semedi bekerja sebagai Abdi Dalem. Pada
jaman Perang Dipanegara Raden Mas Semedi meningglkan kraton mengungsi menuju
daerah Kedu. Setelah sampai di Kebumen memakai nama samaran Mangunprawira.
Di daerah Ambal selatan atau daerah
“Urut Sewu” terjadi huru-hara disebabkan oleh Gamawijaya (Puja Gamawijaya) dari
desa Plempuk yang terkenal berani dan sakti. Pekerjaan sehari-hari sebagai
perampok. Raja Mataram kemudian mengutus Pangeran Balitar agar menangkap Puja
Gamawijaya. Tetapi Pangeran Balitar tidak berhasil menangkapnya. Kangjeng
Gupermen mengumumkan sayembara barang siapa dapat menangkap brandal Puja
Gamawijaya akan mendapat hadiah yang besar. Lurah desa Sijeruk yang bernama
Wargantaka dan Andaga anaknya menyatakan bersedia menangkap brandal Puja
Gamawijaya. Wargantaka telah mengetahui kelemahan-kelemahannya Puja Gamawijaya,
karena teman seperguruan. Andaga diserahi tugas untuk menangkap Puja Gamawijaya
(Pupuh Dhandhanggula : 1-2)
Puja Gamawijaya semakin berang dan
beringas melihat Andaga datang di medan perang. Perkelahian terjadi. Andaga
selalu diamat-amati oleh ayahnya. Puja Gamawijaya datang ke desa Sijeruk,
menantang adu kesaktian dengan Andaga dan Wargantaka. Andaga tidak tahan dengan
ucapan Puja Gamwijaya. Akhirnya Puja Gamawijaya kalah, dibunuh dan kepalanya
dipenggal (Pupuh Pangkur : 1-28).
Kepala Puja Gamawijaya ditanam di tanah
dekat pasar Bocor, dipakai sebagai pertunjukan. Hal itu dimaksudkan agar
masyarakat tahu bahwa orang yang membuat onar telah mati dibunuh. Hadiah yang
dharapkan Andaga bukan berupa uang, melainkan pangkat luhur yakni sebagai
bupati. Permintaan Andaga dikabulkan, Andaga diangkat sebagai bupati Ambal
dengan gelar Raden Tumenggung Purbanagara.
Berita kematian Puja Gamawijaya terebar diseluruh desa “Urut Sewu”.
Masyarakt merasa lega , hidupnya aman dan tenteram. Pembangunan Kabupaten Ambal
segera dimulai dengan cara bergotong-royong. Bentuk bangunan dibuat menyerupai
kraton. (Pupuh Gambuh : 1-32).
Mas Ajeng Sijeruk kakak perempuan Andaga
diambil sebagai selir, karena jasanya yang sangat besar. Istri muda bernama
Raden Ayu Anom berasal dari Ayah. Jumlah selir ada sembian, sedang anaknya
semua 16 orang yakni :
1. Raden
Ayu Mangunreja, kawin dengan Mantri Kabupaten Ambal.
2. Raden
Mas Riya Mangunprawira, menjabat Mantri di Kabupaten
Kebumen.
3. Raden
Bei Mangunwinata.
4. Raden Ngebei Citradimeja, menjabat Kolektur di
Ambal, kemudian diangkat sebagai Bupati Trenggalek.
5. Wijayakusuma.
6. Gandadimeja.
7. Raden
Jayakusuma, sebagai Mantri Enom.
8. Raden
Ayu Khaji Mgaisah, nama kecil Raden Ajeng Sinthing kawin dengan Raden Ngebei Atmadipura.
9. Raden
Ngebei Purbakusuma,menjabat Demang Bonang di Bantul Yogyakarta.
10. Raden
Ayu Idris.
11. Raden
Ayu Cakradipura.
12. Raden
Ayu Partadipura, menjabat sebagai asisten.
13. Raden
Ayu Purbaatmaja, kawin dengan penguasa di Kutoarjo.
14. Raden
Ratsil.
15. Raden
Ayu Abdul Gani, kawin dengan penghulu.
16. Raden
Ayu Dipaprawira,menjadi Mantri Guru Kweekschool di Magelang.
Keturunan
Ambal (1828-1941M) yang terakhir bernama Kangjeng Wijayakusuma,
nama
kecil
bernama Raden Maryuni menjabat Bupati di Purbalingga, kemudian dipindahkan ke
Trenggalek.
Kangjeng Purbaatmaja putra Mas Ayu Godong mempunyai cucu
putri kawin
dengan
Jayanegara Bupati Banjarnegara yang kedua.
Putra-putri
Mas Ayu Sinthing kawin dengan Tumenggung Purbaatmaja Bupati Kutoarjo.
Cicitnya
kawin dengan Kangjeng Prawirawijaya Wedana Campurdarat Kediri.
- Cicit
putri kawin dengan Zarwis atau Purbaatmaja Adisurya Bupati Kendal.
- Cicit putri kawin dengan Tumenggung Arung
Binang ke (?) Kebumen.
- Cicit putri kawin dengan Kangjeng Sumitra
Kolopaking Banjarnegara.
Keturunan
Bupati Ambal ternyata banyak yang menjabat Bupati tersebar di pulau Jawa.
(Pupuh
Mijil : 1-23).
Kabupaten Ambal berdiri tahun 1828M
jaman perang Dipanegara. Sebelumnya yang menjabat Bupati bernama Kanjeng
Pangeran Balitar, setelah pensiuan gedung kabupaten dirusak. Tahun 1828 gedung
dibagun lagi jaman Bupati Purbanagara. Istri dan selir bupati Purbanagara semua
ada sembilan, satu diantaranya tidak berputra, yakni istri yang terakhir anak
seorang haji dari Ambal.
Istri
dari Kangjeng Sinuhun Banguntapa Yogyakarta berputra dua orang, yakni :
1. Raden Ayu Mangunreja.
2. Raden Riya Mangunprawira.
Raden Ayu Anom dari ayah berputra seorang
bernama Raden Mangunwinata.
Istri
yang berasal dari Karangluwas Purwakerta bernama Mas Ajeng Citra, beputra dua
orang, yaitu :
1. Raden Bei Citradimeja.
2. Raden Ajeng Trenggalek.
Istri
dari Semarang berputra satu, yaitu Raden Bei Gandadimeja.
Adapun
selir yang besar jsanya yaitu Mas Ajeng Sijeruk berputra dua, yaitu :
1. Raden Jayakusuma.
2. Raden Ayu Trenggalek.
Istri
dari Puring berputra dua, yaitu :
1. Raden Ayu Cakradiwirya.
2. Raden Ayu Partadipura.
3. Raden Ayu Purbaatmaja.
4. Raden Potsil.
Istri
dari Tanggulaangin bernama Raden Nganten Pulangyun berputra dua, yaitu :
1. Raden Ayu Abdulgani.
2. Raden Ayu Dipaprawira, guru Kwekschool di
Magelang.
Selama
Bupati Purbanagara menjabat di Ambal didampingi oleh asisten Residen O Van
Roes, yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral di Batavia (1884-1888M).
Hubungan Purbanagara dengan O Van Roes sangat baik, hingga Purbanagara mendapat
gelar “Adipati Harya”. (Pupuh Asmaradana : 1-26).
Bupati Ambal hidupnya sangat sederhana.
Putra-putrinya tidak ada yang dimanjakan. Salah seorang putranya yang bernama
Raden Mas Maryuni pernah magang menjadi pegawai Gupernuran di Batavia,
bertahun-tahun tidak diangkat, disuruh pulang ke ambal. Dengan ketaatan dan
ketekunan, akhirnya Raden Mas Maryuni diangkat menjadi bupati di Prabalingga
Jawa Timur, kemudian dipindahkan ke Trenggalek, bergelar Kangjeng Wijayakusuma.
Putri Raden Ajeng Sinthing kawin dengan
Mas Ngebei Atmadipura Wedana Soka Kebumen, berputra seorang lalu cerai, kembali
ke Ambal.
Ngabei
Atmadipura diagkat menjadi Bupati Banjarnegara, bergelar Raden Adipati
Tumenggung Jayanagara, kawin dengn adik bupati Purwareja berputra seorang
bernama Raden Mas Sutapa.
Putra
laki-laki Raden Ajeng Sinthing menggantikan kedudukan ayahnya di Banjarnegara
bergelar Tumenggung Jayanagara II, kawin dengan saudara sepupu dari Ambal,
berputra laki-laki bernama Mangunprawira, menjabat Mantri di Kebumen.
Setelah
menjanda Raden Ayu Sinting kawin dengan Raden Khaji Umar. Kemudian naik haji
berganti nama Ngaisah Dyan Ayu Kaos. (Pupuh Megatruh: 1-28).
Jaman pemerintahan Amangkurat Agung
terjadi pemberontakan Trunajaya. Mangkurat Agung meninggalkan Mataram ke arah
barat lewat Kebumen. Di Kebumen Mangkurat Agung jatuh sakit, raja minta minum
air kelapa muda. Mas Ngabei Kertawangsa menyediakan air kelapa kering. Sang
raja terkejut, karena tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah air kelapa
itu diminum, rasanya bagaikan air kelapa muda dan dengan minum air kelapa itu
raja sembuh dari sakit yang dideritanya. Maka hati raja sangat berkesan.
Sebagai rasa terima ksih dan untuk mengingat peristiwa itu Ngabei Kertawangsa
diberi nama tambahan “Kalapaking” menjadi Ngabei Kertawangsa Kalapaking dan
diberi putri “triman”, bernama Raden Ajeng Sri Mulat. Raja melanjutkan
perjalannya. Setelah sampai di daerah Tegal kambuh lagi penyakitnya. Raja berpesan,
jika mennggal dunia mohon dimakamkan pada tempat yang harum baunya. Maka tempat
itu disebut Tegalarum.
Bupati Ambal berbesan dengan Kangjeng
Jayaningrat bupati Karanganyar putra Kangjeng Pangeran Murdaningrat putra
Hamengku Buwana II. Setelah pensiun bertempat tinggal di Sepuran. Putranya
diangkat sebagai bupati di Wanasaba. Sejak masa itu Wanasaba di bawah
pemerintahan keturunan Murdaningrat dan Kalapaking.
Bupati Ambal mengadakan kunjungan kepada
Tuan Mayor Bee Bee Cwan di Semarang. Pada perjalanan pulang Purbanagara singgah
di Bandongan. Setelah tiba di Magelang Bupati Ambal menuju ke gedung Residen
Kedu bertemu dengan Kangjeng Tuan O Van Roes, melaporkan bahwa Wedana Bandongan
sudah lanjut usia dan sudah sepantanya
kalau mendapat penghargaan dari pemerintah. Akhirnya wedana Bandongan dinaikan
pangkatnya menjadi patih. (Pupuh Durma:1-26).
Ajaran tentang hidup di dunia. Orang
hendaknya selalu ingat kepada Tuhan. Jangan hanya mengejar harta kekayaan.
Jangan mabuk pangkat dan kekuasaan. Jangan mudah putus asa dalam usaha. Sebagai
contoh adalah putra Ambal sendiri yang bunuh diri akibat lamarannya ditolak
oleh seorang putri Tumenggung. Sebaliknya ada putra bupati Ambal yang tidak
pernah putus asa dalam perjuangan hidup, yakni Kangjeng Jayakusuma yang mengabdi
mulai pangkat rendah hingga berhasil menjadi bupati Trenggalek Jawa Timur.
(Pupuh Dhandhanggula : 1-23)
Cucu bupati Ambal Raden Mas Suraja, juru
tulis kontroler dengan diam-diam meninggalkan Ambal, karena melakukan kesalahan
memotong bulu ekor kuda milik kakeknya. Raden Mas Suraja pergi ke arah barat
ingin berguru ngaji. Raden Mas Suraja menyamar dengan berganti nama
Mangunmustapa. Setelah beberapa lama Mangunmustapa diangkat menjadi carik
disuatu desa di daerah Banjarnegara. Tugas utama adalah mendampingi lurah bila
menghadap ke Kawedaan. Lama kelamaan bupati Banjarnegara mengetahui bahwa
Mangunmustapa adalah cucu bupati Ambal yang pandai menari. Raden Mas Suraja
(Mangunmustapa) lalu diantar pulang ke Ambal.
Cucu bupati Ambal putra Raden Mas Harya
Mangunprawira yang bernama Raden Mas Gecul, mempunyai bakat melawak, dewasanya
menjabat di Kalijajar daerah Wanasaba.
Cucu
bupati Ambal yang menjadi istri bupati Kebumen pandai berulah seni, mendirikan
perkumpulan “Wayang Wong cilik”. Bupati Ambal adalah seorang pengarang dan
penulis kitab bertembang Macapat, tetapi tidak ada para putranya yang
melanjutkan. Oleh pemerintah Gupermen Kabupaten Ambal akan dihapus. Bupati
Ambal akan dipindah ke Surabaya, tetapi tidak bersedia.
Bupati
Ambal wafat pada tanggal 7 maret 1871M, dimakamkan di desa Bener. Sepeninggal
bupati Purbanagara daerah Bagelan dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.
Kabupaten Kutoarjo.
2.
Kabupaten Kebumen.
3.
Kabupaten Karanganyar.
Sangat membantu. Thanks
BalasHapusSangat membantu. Thanks
BalasHapus